Thursday, May 29, 2008

Pornografi : Kenapa Repot ?

Sepertinya isu pornografi kembali naik daun. Paling tidak dari rencana, yang konon dilontarkan oleh Bapak Wapres, di bulan April nanti pemerintah akan mengambil tindakan tegas tehadap situs-situs porno. Mudah-mudahan bukan karena isu photo “berani” dari artis yang sedang “naik daun” Sandra Dewi atau yang baru-baru saja merebak, photo seorang model, Aline Tumbuan.

Soal asli atau tidak biarlah menjadi urusan Roy Suryo, namun memang banyak blog yang memuat berita tersebut, entah dengan photo yang dibuat buram, photo setengahnya saja, atau hanya sekedar link ke situs-situs yang memasang gambar tersebut.

Maka terkesanlah sangat ramai di dunia internet. Padahal mungkin hanya link belaka atau berita saja. Tidak ada porno-pornonya sama sekali. Hanya saja klik untuk artikel-artikel tersebut memang ribuan, yang disertai puluah komentar. Terkadang dengan tag keren; sex, porno, Sandra Dewi, Aline, dll. Belum lagi ditambah dengan berita pencekalan Dewi Persik di Tanggerang yang dengan embel-embel berpenampilan porno.

Mungkin ini yang membuat gerah sebagian pejabat kita. Paling tidak sebelum pencekalan situs, sudah ada pencekalan tampil di Kota Tanggerang. Semalam, dalam running text sebuah televisi swasta, diberitakan pula dukungan menteri perempuan terhadap rencana pencekalan situs porno ini.

Ini artinya pemerintah harus bersusah panyah kembali menganggarkan dana belanja, yang konon sedang cekak, untuk membayar sekian banyak staff yang mumpuni di dunia cyber, untuk mengacak atau mencekal situs-situs porno, yang bisa saja beralamat hosting di negara lain. Apa tidak sebaiknya menggunakan anggaran tersebut untuk sesuatu yang lebih bermanfaat? Perbaikan sarana pendidikan misalnya, atau rehabilitasi jalan-jalan yang telah hancur.

Belum pernah saya mendengar ada suatu negara yang sukses telah melakukan pemberantasan pornografi dengan cara mencekal dunia internet. Mungkin saya salah. Namun tak ada pula, menurut saya, kaitan antara kemauan suatu bangsa dengan ketertutupan atau keterbukaan soal pornografi.

Kunci terpenting saya pikir bukan pada bagaimana mencekal pornografi, karena tidak akan pernah bisa. Terlebih di dunia internet. Seperti pepatah tua mengatakan, “banyak cara menuju Roma,” banyak cara pula mengakses pornografi. Kunci terpenting adalah dunia pendidikan. Mampu tidak sekolah dan para pengajar memberikan pemahaman mengenai sistem reproduksi manusia (pendidikan sex).

Filter atau sensor terhadap pornografi baiklah diletakkan pada setiap individu, bukan pada negara. Jika setiap saat kita meminta negara turun tangan, mencekal, mensensor, atau melarang, segala sesuatu yang tidak kita sukai, sama artinya kita kembali mengijinkan negara berkuasa penuh atas kebebasan yang kita miliki sebagai individu. Sama artinya kita mengijinkan kembali diterapkannya totalitarianisme negara, seperti saat Orde Baru. Dan sama artinya kita menempatkan diri sebagai bangsa yang bodoh.

Bangsa yang pintar adalah bangsa yang mampu menentukan pilihannya dengan bijak, tanpa harus dengan embel-embel membonceng keputusan negara. Jika tak menyukai pornografi jangan mengaksesnya, jangan melihat situs-situs yang memuat gambar telanjang, jangan membeli majalah-majalah vulgar, jangan menonton infotaiment. Jauhkan anak-anak dari akses pornografi. Beri pemahaman dunia reproduksi kepada mereka.

Sekali kita meminta negara untuk berperan berlebihan maka dominasi ini akan merambat kepada aspek-aspek lain kehidupan kita. Jangan-jangan kita nanti tidak bisa mencat rumah dengan warna yang berbeda. Jangan-jangan kita tidak bisa lagi bersuara vokal, menulis kritik kepada pemerintah didalam blog-blog kita…..Dan artinya kita mundur kebelakang, kembali menjadi bodoh.. (by Bambang Haryanto) at http://indexjournal1112.blogspot.com/